![]() |
Salah satu spanduk yang dibawa pengunjuk rasa para karyawan Perhutani, Rabu (18/5) di Jakarta |
JAKARTA - Ribuan karyawan Perhutani yang tergabung dalam Serikat Karyawan (Sekar) Perhutani se-Jawa Madura, tumpah ruah di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (18/5) siang. Mereka berunjuk rasa menyuarakan penolakan terhadap Surat Keputusan Menteri LHK nomor 287 tahun 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Dengan meneriakkan penolakan KHDPK dan membawa spanduk berisikan sindiran-sindiran terhadap kebijakan yang dikeluarkan Menteri Siti Nurbaya ini, ribuan anggota Sekar Perhutani secara tertib mendengarkan orasi-orasi dari perwakilan seluruh DPW di atas mobil komando.
Salah seorang orator, menyebutkan terbitnya SK 287/2022 bisa mengancam kelestarian hutan di Pulau Jawa dan Madura.
"Adanya SK 287/2022 tentang KHDPK juga bakal mengancam nasib ribuan karyawan Perhutani yang jelas terdampak jika KHDPK ini dilanjutkan," ujar Muhammad Iksan, juru bicara gabungan DPW Sekar Perhutani, di lokasi aksi.
Ditambahkannya, dengan diterapkannya kebijakan KHDPK maka ada 2,4 juta hektar lahan hutan lindung dan produky yang selama ini dikelola Perhutani tidak akan jelas nasibnya, karena pengelolaanya dilimpahkan bukan lagi kepada BUMN bidang kehutanan.
![]() |
Aktivis Gema Jabar Hejo, Rukanda |
Terpisah, Aktivis DPP Gerakan Masyarakat Jawa Barat Hejo (Gema Jabar Hejo), Rukanda, saat dimintai tanggapan juga mengaku khawatir jika kebijakan KHDPK ini diteruskan di Kawasan Lahan Hutan di Pulau Jawa dan Madura.
"Surat Keputusan 287 dari KLHK ini akan melakukan pengambilalihan hutan negara seluas jutaan hektare yang dikelola Perhutani di Pulau Jawa. Tentunya bisa menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh masyarakat rimbawan dan LMDH di wilayah hutan Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah," papar Rukanda.
Kehadiran kebijakan KHDPK, yang baru saja sebulan diterbitkan, menurutnya, sudah menyebabkan konflik horizontal yang terjadi di masyarakat.
Baca juga:
"Di lapangan, bisa terjadi saling berebut lahan. Selain itu, terbitnya SK KLHK 287 ini sangat memprihatinkan lantaran jauh dari konsep kehutanan dan lebih cenderung memberikan ruang kepada kelompok-kelompok reforma agraria," bebernya.
Secara tidak langsung, kebijakan KHDPK ini, katanya, jelas berdampak buruk kepada masyarakat,
Untuk itu sebaiknya, Ia meminta, Menteri LHK, Siti Nurbaya segera memberi kejelasan agar tidak terjadi keresahan di masyarakat terkait keluarnya SK tersebut.
"Atau seharusnya Siti Nurbaya harus segera mencabut SK KLHK 287 ini agar konflik horizontal bisa dicegah dari sekarang," tandasnya.
Gema Jabar Hejo melihat lahirnya aturan menteri tersebut dari sisi kebijakan menjadi sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Karena KHDPK belum jelas konsepnya serta untuk kepentingan siapa.
"KHDPK ini konsepnya apa dan untuk kepentingan siapa. Sehingga jangan sampai terjadi benturan antara masyarakat yang satu dengan yang lainya, dan karena hal ini pula maka konflik horizontal sebagai dampak kebijakan akan terus berlanjut tanpa penyelesaian, karena berdasarkan PP 72/2010 pengelolaan kehutanan sudah jelas dan sejalan dengan Bapenas," papar Dia.
Rukanda juga meminta agar masyarakat mewaspadai masuknya kelompok-kelompok kapitalis lewat para oknum di lapangan yang bakal menguasai hutan setelah lahirnya SK KHDPK ini.
"Pemegang kebijakan harus tegas dalam hal ini membela kepentingan rakyat bukan malah memberi celah pada mafia-mafia hutan dan lebih cenderung mengedepankan bisnis, yang artinya sangat jauh menyimpang dari konsep konservasi," ungkapnya.
Rukanda memberikan keterangan lain bahwa, dari UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah, yaitu sebuah daerah harus memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen. Jadi, konsep KHDPK menurutnya tak memungkinkan untuk tercapainya RTH secara ideal. (Nars)
Posting Komentar
0 Komentar