![]() |
Jembatan Sungai Cisanggarung (1948). Sumber: FB Sejarah Kota Kuningan dan Cirebon |
KUNINGAN - Kondisi geografis alam di Kabupaten Kuningan yang berbukit dan luasnya kawasan hutan, banyak membantu dan menguntungkan pergerakan para pejuang jaman penjajahan Belanda dan Jepang dalam pertempuran melawan pasukan penjajah.
Hal ini diceritakan Dosen Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tendi kepada kuninganreligi.com, Selasa (06/12/2022) di tempat kerjanya.
Sebagai pegiat sejarah, Tendi menyebutkan, Bangsa Indonesia pernah mengalami peristiwa kelam saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah.
Pasukan Belanda pada tanggal 19-20 Desember 1948, tuturnya, melancarkan Agresi Militer II atau yang juga disebut Operatie Kraai alias Operasi Gagak.
Agresi ini bermula dilancarkan di daerah Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sementara Indonesia. Serangan pasukan penjajah kemudian meluas ke beberapa daerah, termasuk di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
![]() |
Pemerhati sejarah, Tendi |
Gejolak perlawanan terhadap penjajah Belanda saat itu terus bergemuruh meski dari segi peralatan perang, pasukan gerilyawan setempat sangat kalah jauh kondisinya.
Dengan kecerdikan strategi perang dan memanfaatkan kondisi geografis wilayah Kuningan, para gerilyawan terus bertahan dan melawan pasukan musuh.
"Pada saat itu wilayah Karesidenan Cirebon telah diduduki Belanda. Beberapa lokasi strategis di Kuningan pun sudah dikuasai penjajah," sebut Tendi.
![]() |
Pertempuran di Ciwaru (sumber: historyofcirebon.id) |
Hal ini, imbuhnya, memaksa para pejuang untuk masuk ke hutan-hutan pedalaman sebagai tempat persembunyian teraman mereka.
Karena pergerakan para gerilyawan ini tidak terlihat oleh pasukan penjajah, tentara Belanda akhirnya gencar melakukan patroli. Dengan dukungan jumlah pasukan yang banyak, membuat aktivitas patroli tentara Belanda semakin mudah.
"Mereka ditempatkan di beberapa wilayah untuk menyisir dan mencari para pejuang yang bersembunyi," ucapnya.
Tendi pun menyebutkan beberapa daerah yang menjadi rute patroli pasukan penjajah Belanda saat itu. Diantaranya adalah wilayah Kuningan dan Cilimus yang menjadi jalur perlintasan pasukan penjajah.
![]() |
Perjalanan di kawasan Linggajati (sumber: FB Sejarah Kota Kuningan dan Cirebon) |
"Ke arah timurnya sampai ke Luragung. Kalaupun ada ke Cibingbin, itu hanya patroli sekalian ke Ciwaru," tuturnya lagi.
Lagi-lagi Tendi berkata bahwa kondisi geografis hutan belantara di pelosok Kabupaten Kuningan saat itu sangat mendukung para pejuang Indonesia baik untuk bersembunyi maupun untuk menggencarkan perlawanan.
"Para pejuang bangsa ini melakukan taktik gerilya dengan cara menyerang kemudian bersembunyi di hutan-hutan atau di rumah-rumah warga," ujarnya.
Saat itu, ungkapnya, daerah Ciwaru adalah salah satu tempat strategis sehingga sempat dijadikan sebagai Ibukota Karesidenan Cirebon.
" Wilayah ini dianggap paling aman untuk melakukan aktivitas bagi para pegawai pemerintah yang mendukung kedaulatan Indonesia dipertahankan," sebutnya.
Sebagian tentara pejuang bermarkas di daerah Subang, Kuningan, dan sesekali mereka melakukan perjalanan ke wilayah Cibingbin dan Brebes.
Meski persembunyian di hutan belantara tergolong aman, namun bukan berarti para gerilyawan bangsa Indonesia ini luput dari serangan pasukan penjajah Belanda.
Diceritakan Tendi, pernah terjadi di wilayah Cibingbin, patroli pasukan penjajah Belanda berhasil membombardir para pejuang Indonesia.
Hal ini didukung oleh kelengkapan persenjataan dan jumlah personel pasukan penjajah yang jauh lebih siap untuk berperang.
"Saat pasukan penjajah Belanda berpatroli melintas di Cibingbin menuju Brebes. Saat itu mereka mencurigai ada pergerakan tentara pejuang kita, dan terjadilah baku tembak," ungkapnya.
Pada pertempuran tersebut, banyak tentara pejuang Indonesia yang gugur. Mereka seolah dibantai karena kekuatan persenjataan dan personel yang kalah jauh dari pasukan penjajah.
"Belum lagi saat itu pasukan Belanda mendapatkan bala bantuan dari wilayah Brebes, Kuningan, dan Cirebon. Sehingga pembantaian terhadap para gerilyawan pun terjadi," kata Tendi mengakhiri kisah sejarah ini. (Nars)